Tuhan, Aku Kembali


KRING...

Pukul tiga tepat, benda itu berdering melaksanakan titahku. Aku terbangun kemudian bergegas mengambil air wudhu. Saat rembulan masih mewarnai langit kota, saat Sang Surya masih malu untuk menampakkan wajahnya, saat itulah aku mengadu pada Tuhanku.

Citra Arumi, itu namaku. Tapi, orang lain kerap memanggilku Rara. Aku adalah seorang gadis sederhana, senang bermain, bercerita, nonton drama korea, dan masih banyak lagi yang kerap kali aku lakukan bersama teman-temanku.

“Ra.... Ayo turun, ini sudah pukul enam nak,” teriak Mama.

Rutinitas yang jarang dilewatkan oleh keluargaku, sarapan bersama. Aku langsung mengambil tas ransel di meja belajar kemudian bergegas turun menuju meja makan. Mama dan papa sudah menungguku sedari tadi. “Maaf Pa, Ma,” ujarku sambil tersenyum malu karena sudah membuat mama dan papa menunggu. Menu sarapan hari ini adalah nasi dengan telur mata sapi, sederhana, tetapi telur mata sapi buatan mama selalu saja menggugah selera.

“Ra, satu minggu lagi ujian akhir semester ya?” mama memilih topik ujian untuk kami perbincangkan pagi ini. “Terus belajar dan berdo’a ya Ra, Mama dan Papa yakin Rara bisa membanggakan Mama dan Papa,” lanjut mama. “Iya ma,” jawabku. Papa hanya tersenyum memerhatikan mama yang terus menasihatiku untuk ujian minggu depan. Aku adalah anak tunggal, wajar saja mama memintaku untuk terus belajar dan menorehkan banyak prestasi, tentu ia tak mau anak satu-satunya ini gagal meraih masa depan. Akupun tak pernah keberatan dengan semua tuntutan mama. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar sampai sekarang di penghujung kelas satu SMA, aku selalu mendapatkan peringkat tiga besar di kelasku.

Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulitku, kicauan burung peliharaan papa saling menyahut meminta makan. Papa mengeluarkan mobil dari bagasi, aku berpamitan pada mama dan lekas menaiki mobil untuk segera pergi menuju sekolah.

“Ra.. Raraaa..,” sahut Sheril. Baru saja aku sampai di gerbang sekolah, Sheril memanggilku dengan suara cempreng nya. Dia berlari menghampiriku. “Ini gawat Ra, darurat siaga empat!” lanjut Sheril. “Ada apa sih Ril ? Ini masih pagi, jangan membuat keributan di sekolah,” jawabku. “Aku belum ngerjain tugas Fisika Ra, lihat sedikit boleh lah yaa,” Sheril memandangku sambil mengedip-ngedipkan mata tanda meminta. Kemudian aku hanya tersenyum meng-iyakan. Ah, dasar Sheril, selalu saja ia seperti itu. Sebenarnya bukan hanya Sheril yang sering meminta tugasku, teman-teman lainnya pun seperti itu. Hanya saja, Sheril adalah yang riweuh di antara mereka. Aku tidak pernah merasa keberatan untuk memberikan tugasku, bahkan aku merasa senang jika ada yang bertanya atau memintaku untuk mengajari tentang pelajaran di sekolah.

Esok aku akan menghadapi ujian akhir semester. Aku tidak pernah merasa takut untuk menghadapi ujian, karena mama memang menyuruhku untuk belajar setiap hari. Bangun pukul tiga, shalat tahajud, mengaji, belajar, shalat dhuha, pergi sekolah, dan belajar lagi di malam hari. Membosankan, tapi memang itulah rutinitasku.

DRRRR...

Handphone ku bergetar, memecah konsentrasiku yang sedang berusaha menyelesaikan persoalan matematika.

“Ra, Aku dan teman-teman ingin belajar matematika untuk ujian esok. Kau mau kan mengajari kami?” terlihat nama Radit yang mengirim pesan itu. Aku bergegas meminta izin mama untuk pergi ke sekolah. Mama mengizinkan.

Tiga jam aku menghabiskan waktu di sekolah, mengajarkan teman-temanku layaknya seorang guru mengajar. Hmmm, ternyata jadi guru itu tidak semudah apa yang aku lihat. “Allahu Akbar Allahu Akbar,” adzan maghrib berkumandang menyuruhku untuk segera pulang.

Tak terasa ujian sekolah telah usai, Alhamdulillah aku telah menyelesaikannya dengan tanpa penyesalan. Tibalah waktu yang aku tunggu-tunggu, pembagian laporan akhir tahun. Aku tidak pernah mengharapkan untuk menjadi juara kelas, hanya saja aku takut mengecewakan orang tuaku jika tidak memenuhi harapan mereka. Mama, papa dan aku pergi ke sekolah bersama untuk membawa hasil laporan pembelajaranku selama semester genap ini. Mama dan papa keluar dari ruang kelasku dengan mata yang berbinar dan wajah yang beseri. Sudah kuduga, aku mendapat predikat juara kelas. Aku yakin, ini berkat usaha dan kerja kerasku, do’a orang tua dan jauh di atas itu adalah karena kehendak Tuhan.

Aku mengisi liburanku dengan menghabiskan stok drama korea yang sudah dari jauh-jauh hari aku persiapkan. Setiap hari, aku keluar kamar hanya untuk mandi dan makan. Selebihnya aku mengurung diri di kamar.

Dua minggu terlewat begitu saja, tidak ada yang spesial, hanya lima judul drama berisi enam belas episode di setiap dramanya aku habiskan. Tetapi, ada hal yang merasuki jiwaku, entahlah itu apa. Hanya saja aku tiba-tiba ingin menjauh dari dunia per-koreaan. Ah, mungkin ini hidayah dari Tuhan, aku harus menyambutnya dengan baik.

Memasuki kelas dua SMA, aku mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa dan masuk menjadi anggota OSIS. Saat kelas satu, aku memang tidak mengikuti organisasi apapun, aku hanya aktif di eskul jurnalistik sekolah. Sebenarnya, tujuan utamaku mengikuti organisasi adalah untuk mencari kesibukan agar tidak tergoda dengan drama-drama korea yang baru, tetapi lama-kelamaan aku menjadi nyaman dan terbiasa dengan kegiatan-kegiatan di luar sekolah yang kerap kali mengganggu waktu liburku bersama mama dan papa, bahkan hanya untuk sekedar sarapan pun aku lewatkan.

KRING...

Seperti biasa, pukul tiga tepat alarmku berdering.“Arghhhh,” aku berucap kesal, langsung meraih mematikan alarm kemudian melanjutkan tidur pulasku. Semalam, aku pulang pukul sepuluh karena mempersiapkan segala sesuatu untuk acara OSIS hari ini. Akhir-akhir ini aku kerap meninggalkan rutinitas shalatku, dengan alasan lelah karena organisasi yang kujalani. Bahkan untuk mengaji pun tidak sampai satu lembar sehari.

TOK.. TOK.. TOK..

“Ra, bangun. Ini sudah setengah lima. Bukannya kamu harus sampai di sekolah setengah enam ya?” Suara ketukan pintu dan perkataan mama seketika membangunkanku. Aku lekas bergegas mandi.
“Pa, Ma. Rara berangkat dulu ya,” teriakku sembari lari menuruni anak tangga menuju arah pintu. “Eh Ra, ayo sarapan dulu, ini sudah mama siapkan. Nanti berangkat sekolah biar papa yang antar,” pinta Mama. “Tidak Ma, Rara sudah terlambat. Assalamualaikum,” jawabku sambil menutup pintu.

Pukul lima lebih tiga puluh lima menit aku sampai di sekolah. Aku mendapat hukuman karena telat datang lima menit. “Ahh sudah kuduga,” sesalku dalam hati. Acara hari ini berjalan dengan lancar, Sang Surya telah berganti dengan rembulan. Pukul sembilan malam, papa sudah menungguku di halaman sekolah sejak dua jam yang lalu, begitu juga dengan mama yang menunggu kami pulang untuk sekedar makan malam bersama. Sampai di rumah, aku dapati Mama tertidur di atas meja makan. papa membangunkan mama, kemudian kami makan malam bersama tanpa ada perbincangan sedikitpun di antara kami. Aku merasa bersalah, ini semua karena kegiatanku yang terlalu berlebihan. Papa sering telat pulang karena menungguku selesai dengan kesibukanku. Mama juga kerap kali kelelahan karena harus bangun lebih awal untuk menyiapkan keperluan sekolahku dan tidur lebih larut karena aku dan papa pulang malam.
Aku naik menuju kamar, mengganti pakaianku dan bergegas tidur. Aku merebahkan tubuhku di ranjang, menatap langit-langit kamar yang ku hiasi bintang-bintang dari kertas metalik “Ah, sangat lelah hari ini,” ucapku pelan. Jam menunjukkan pukul sebelas, aku telah pergi ke alam bawah sadarku.

KRING...

Lagi-lagi alarmku berbunyi, dan lagi-lagi pula aku tidak menghiraukannya. Aku terbangun tepat pukul lima dan segera melaksanakan shalat shubuh. Rara yang selalu bangun pukul tiga dan mengadu pada Tuhannya tentang apa yang ia alami setiap harinya sudah tak ada, sosok Rara yang setiap waktu belajar dan senang membantu mulai dirindukan oleh teman-temannya.

Pagi ini tak secerah biasanya, awan terlihat kelam tanda akan turun hujan. mama menyuruhku membawa payung untuk berjaga. Aku malas-malasan pergi ke sekolah, udara seperti ini sangat cocok untuk tidur lagi. Tetapi apa boleh buat, satu minggu lagi ujian akhir semester. Tak seperti biasanya, aku takut menghadapi ujian kali ini. Sekarang, aku jarang sekali belajar. Bahkan, untuk tugas pun aku kerjakan di sekolah. Bukan tugasku yang dilihat teman-teman, melainkan akulah yang melihat tugas temanku. Sungguh memalukan.

Satu minggu menjelang ujian aku isi dengan persiapan. Ada teman yang meminta untuk diajari materi pun aku tolak dengan alasan belum menguasai materinya. Aku terlalu takut tidak bisa mengejar ketertinggalanku karena acara-acara yang diadakan oleh OSIS akhir-akhir ini, karena itu aku lebih sering mengabaikan teman-teman yang meminta bantuan.

Tibalah waktu ini. Agenda yang tidak pernah aku takuti sebelumnya, tetapi berbanding seratus delapan puluh derajat hari ini. Aku sangat takut, karena aku hanya belajar dengan sistem kebut semalam, tidak seperti ujian-ujian sebelumnya. Saat sarapan mama berpesan “Berdo’alah Ra, lakukan yang terbaik. Mama yakin Rara bisa”.

Aku memasuki ruang ujian. Badanku gemetar, tapi tidak aku perlihatkan pada teman-temanku. Aku malu jika harus terlihat takut di hadapan mereka. Hari ini mata pelajaran Matematika, Biologi dan Bahasa Indonesia. Tidak masalah dengan Matematika, karena itu mata pelajaran kesukaanku. Tetapi untuk Biologi dan Bahasa Indonesia, bagaiamana ? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku akan mengisi lembar jawabanku. Sudahlah.

Bel berbunyi tanda ujian selesai. Di luar kelas anak-anak ribut berdiskusi tentang jawaban apa yang mereka isi saat ujian tadi, begitupun dengan Sheril. “Ra, Aku bingung dengan nomor tujuh tadi. Sebenarnya jawaban yang benar apa sih Ra ?” tanya Sheril.
Aku menunjukkan wajah kebingungan.
“Itu loh Ra, biji tumbuhan Psidium guajava merupakan jaringan apa?” lanjut Sheril meyakinkan. “Ayolah Ra, beri tahu Aku. Toh ujiannya juga sudah selesai. Hanya nomor itu jawaban yang aku ragukan. Aku menjawabnya sklereid. Bagaimana denganmu?” Tanya Sheril.
Aku bingung harus menjawab apa, nyatanya akupun tidak tahu apa jawaban dari soal itu. Terlebih, aku hanya yakin benar mengisi 50% jawaban Biologiku. Tapi, aku tak mau terlihat bodoh dihadapan Sheril dan teman-teman.
 “Aduh Ril, nanti saja ya bahasnya. Kepalaku pusing, Aku tidak enak badan dan Aku akan segera pulang,” jawabku berbohong kemudian pergi meninggalkan koridor menuju gerbang sekolah.

Akhirnya ujian telah usai. Bukan lega, melainkan cemas yang menghampiriku. Aku takut dengan hasil laporan akhir semesterku mengecewakan mama dan papa.

“Optimis menjadi juara lagi Ra?” tanya Mama saat perjalanan menuju sekolah untuk mengambil hasil laporan pembelajaranku. Seperti biasa, papa haya tersenyum sambil mendengarkan. Akupun hanya tersenyum gentir menjawab pertanyaan mama yang seketika membuat jantungku berdetak kencang.  “Tuhan, bagaimana ini? Aku sangat yakin tidak akan mendapat gelar itu lagi. Bahkan untuk masuk tiga besar pun aku tak yakin,” ucapku dalam hati.
Benar saja, aku harus puas hanya dengan peringkat keempat. “Maafin Rara Ma, Pa,” ujarku saat mama menunjukkan laporan itu. Mama dan papa hanya tersenyum, terlihat raut kecewa di wajah mereka. Kami bergegas pulang. Perjalanan ini hening, tak ada perbincangan sedikitpun. Hanya suara bisikan angin yang terdengar. Akupun terlalu takut untuk memulai perbincangan. Keheningan ini berlanjut hingga kami sampai di rumah.

Liburan tiba. Suasana di luar begitu cerah, kicauan burung seperti mengajakku bermain. Suara-suara kendaraan di depan rumah begitu bising. Liburan yang biasanya Aku habiskan untuk menonton drama korea, sekarang Aku habiskan hanya untuk menyesali. Sudah dua hari setelah pembagian laporan itu Aku menangis setiap malam di kamar. Untuk pertama kalinya dalam kurun waktu sepuluh tahun Aku tidak masuk peringkat tiga besar di kelas. Wajar saja mama dan papa kecewa terhadapku.
“Apa yang Aku lakukan selama ini sehingga prestasiku dapat turun sangat derastis?” tanyaku dalam hati.

TOK...TOK...TOK...

“Mama masuk ya Ra,” ucap Mama.
“Iya Ma, boleh,” sahutku.
Mama menghampiriku dengan membawa segelas susu dan roti. “Sarapan dulu Ra,” ujar Mama.
“Rara tidak punya selera makan Ma,” jawabku.
“Ra, Mama tahu kamu sangat kecewa dengan apa yang kamu dapatkan semester ini. Jujur, Mama dan Papa pun kecewa tetapi kekecewaan kami tidak melebihi rasa sayang kami kepada Rara,” Mama menghela nafas.
“Mama tidak marah, Mama juga tidak pernah menuntutmu untuk selalu menjadi juara kelas. Tidak Ra. Mama dan Papa hanya memintamu untuk terus berusaha. Untuk hasil, kita serahkan saja pada Tuhan Yang Maha Kuasa,”.
“Mama kecewa bukan karena kamu tidak menjadi juara kelas Ra, melainkan karena kamu tidak bisa mengatur waktumu. Rutinitas yang biasa kamu lakukan setiap hari seperti shalat tahajud, shalat dhuha, dan mengaji akhir-akkhir ini tidak kamu lakukan. Mungkin ini teguran dari Tuhan agar kamu tidak merasa puas dengan apa yang kamu dapat sebelumnya,” ungkap Mama.
Tak sadar, air mataku pun menetes. Mama memelukku erat. “Berdo’alah Ra, meminta ampunan pada Tuhan karena kamu telah bersikap sombong seolah bisa hidup tanpa-Nya,” ujar Mama sambil mengecup keningku dan pergi meninggalkanku dengan banyak penyesalan.

Kemudian aku merenung. Apa yang dikatakan mama benar, ini adalah teguran dari Tuhan yang merindukanku. Aku lekas mengambil air wudhu dan bergegas melaksanakan sholat dhuha kemudian mengaji. Tenang rasanya hati ini, ternyata aku terlalu takut untuk mengakui diriku bodoh. Padahal, memang hakikat manusia seperti itu, ia tidak akan ada apa-apanya jika tidak diberi ilmu oleh Sang Maha Pemberi.

Sekarang yang harus aku lakukan hanyalah yakin dan terus berusaha menjalani semua ini secara perlahan. Aku tidak boleh menjadikan alasan organisasi sebagai surat izinku pada Tuhan. Aku harus lebih memahami tentang janji-janji yang telah Tuham berikan, hingga akhirnya aku mau berusaha untuk menjadi orang yang lebih berguna. Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk oranglain.

***
(Devitha, 2017)

Komentar