Psikologi ke Kedokteran


Ibuku seorang bidan desa, ayahku menjalankan apotek sebagai ladang mencari nafkah, tak asing bukan jika setiap orang tua yang bergelut dibidang kesehatan menginginkan anaknya untuk meneruskan profesinya ? Benar, orang tuaku yang menjadi alasan awal aku memberanikan diri untuk berputar arah.

Awalnya aku ingin menggeluti penyakit kejiwaan, mengambil prodi Psikologi. SNMPTN, PPKB UI bahkan SBMPTN pun aku mengikuti UTBK dengan jenis soal sosial humaniora. Tetapi, setelah mengalami berbagai penolakan, aku merenung, sebenarnya apa yang menyebabkan aku mengalami bertubi-tubi penolakan ? Seketika aku teringat, keyakinan diri dan ridho orang tua lah yang mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Memang, orang tuaku tidak melarang aku memilih program studi Psikologi, tetapi dari awal, mereka mengharapkan agar aku mengambil Prodi Kedokteran, untuk meneruskan tempat praktik ibuku, katanya. Bukan aku tidak mau, aku hanya tidak yakin, tidak yakin akan kemampuan diri sendiri bahwa aku akan bisa melewati tahapan-tahapan untuk menjadi seorang dokter. Aku lebih suka bersosialisasi dengan banyak orang, memahami pribadi seseorang dan memandang seseorang dari berbagai sudut pandang, itulah mengapa sebelumnya aku ingin mengambil Prodi Psikologi.

Aku berada di rumah sakit saat penolakan UNPAD dan UI. Ketika itu, ada seorang teman yang menjenguk dan dia banyak berbincang dengan ayahku. Berbincang tentang perjuangan ibuku dulu saat pertama kali menjadi bidan desa yang membantu banyak orang dalam proses persalinan, naik rakit untuk menyebrangi sungai malam hari, melewati hutan tengah malam, dan banyak lagi. Hatiku terenyuh, dari kecil aku berpikir bahwa aku jarang sekali berlibur bersama keluargaku, ibuku sangat sibuk. Ternyata, aku menemukan jawabannya. Ibuku bukan hanya milikku seutuhnya, banyak yang membutuhkan dia. “Kalo di kampung, pekerjaan dokter spesialis juga bisa diambil alih oleh bidan desa, karena di sana tidak ada dokter, apalagi dokter spesialis,” kata ayahku. Misalnya, orang melahirkan ? Dokter Kandungan, pasien sakit mata ? Dokter Mata dan kalau ada orang yang telinganya kemasukan serangga, kalo di kota, pasti ke dokter THT kan ? Di kampung mah datangnya ke bidan hehe. Memang kenyataannya seperti itu.

Mendengar perbincangan itu, aku mulai berpikir. Apakah aku sanggup menjadi dokter ? Membantu banyak orang yang membutuhkan, di pedesaan.
Beberapa minggu merenung, ayahku dengan pasrah dan nada lembutnya berkata, “Dev, sekali ini saja turuti kemauan Ayah, daftar Unswagati dan ambil Prodi Kedokteran.” seketika bingung harus menjawab apa. Meskipun telah merenung lama, tetap saja aku kaget, ayahku tidak pernah berbicara dengan nada seperti itu sebelumnya, sangat jelas kalau dia benar-benar berharap banyak padaku. Bismillah, mungkin ini jalanku, “iya boleh”, jawabku pendek.

Aku memang sudah memutuskan untuk mencoba mengambil prodi kedokteran, banyak teman-temanku yang berani dan yakin bahwa mereka mampu, kenapa aku lemah ? Aku tidak menganggap ini sebuah keterpaksaan, ini jalan yang diberikan Allah dan aku menerimanya dengan senang hati. Dokter akan menjadi orang yang sangat bermanfaat bagi masyarakat, tidak ada bedanya dengan psikolog, hanya berbeda dalam hal bidang yang dipelajari, tujuannya sama saja bukan ?

Awalnya memang karena orang tua, tetapi saat ini karena diriku sendiri, orang tua adalah 50% motivasiku, 50% lagi adalah aku ingin menjadi orang yang berguna, menebar kebaikan. Jauh di atas itu semua, aku ingin mempelajari hal yang dapat menjadi tabungan pahala untuk kelak di akhirat. Setelah mendapat kabar bahwa aku lolos SBMPTN Psikologi dan aku rela melepaskannya begitu saja, aku menjadi lebih yakin bahwa inilah cita-citaku sekarang, menjadi dokter di masa yang akan datang.

Bila butuh teman cerita, 081321534143.

Komentar